Lombok Timur, IndepthNTB - Jumat 25 April 2025 merupakan hari otonomi daerah yang ke 29 yang digelar di Balikpapan Kalimantan Timur. Menanggapi otonomi daerah ini, Pengamat Politik dab Budaya Ali Bin Dahclan (Ali BD) menyebut otonomi daerah telah tergerus, sehingga semakin memangkas kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) mengelola dan mengatur wilayah sendiri.
Ali BD menilai Indonesia belum memiliki pemimpin bangsa yang sejati, hanya di pimpin oleh pimpinan partai politik. Dampaknya secara kultural, Indonesia berada dalam kondisi antara ada dan tidak ada.
Sejatinya, sebagai negara yang besar, pemimpin Indonesia secara kebudayaan harus berdiri diatas kepentingan semua kelompok dan suku bangsa yang ada, sehingga kebijakan yang diambil mempertimbangkan kepentingan semua kelompok tersebut.
"Pemimpin sekarang ini hanyalah pemimpin partai politik, bukan pemimpin yang mampu mempersatukan seluruh suku bangsa di tanah air, terlihat, dari kebijakan otonomi daerah yang makin tergerus dan semua kebijakan bersifat sentralistik." ujar Ali BD.
Bupati Lotim dua Periode itu mengatakan kebijakan politik yang dinilai mengikis penghormatan terhadap keragaman daerah, yaitu dalam hal otonomi daerah, misalnya soal pengangkatan pegawai, sekarang semuanya terpusat. Bahkan urusan kecil seperti makanan di sekolah sejatinya bisa diarahkan ke kantin sekolah kini turut diurus semua oleh penentu kebijakan pusat.
Kebijakan-kebijakan yang sifatnya menyentuh langsung di daerah semestinya langsung dikerjakan di daerah. Bukan kemudian menjadi lahan proyek dan bagi-bagi kue keuntungan.
"Seharusnya, hal-hal yang teknis seperti makan bergizi itu bisa saja diserahkan ke kantin sekolah. Kantin bisa mengelola menu lokal yang sesuai dengan kondisi sekolah. Bukan seperti sekarang ini terlihat semua diatur seragam dari pusat," ucapnya.
Ali BD menegaskan, kebijakan pemimpin yang dilahirkan dari rahim reformasi seharusnya membuka ruang bagi penguatan nilai-nilai lokal. Tetapi ia justru melihat kebijakan saat ini semakin tergerus oleh kebijakan politik yang sentralistis. Dampaknya budaya Indonesia semakin terpinggirkan karena kebijakan politik yang tidak menghargai keragaman.
Banyak lagi program yang semestinya menjadi urusan pemerintah daerah sekarang terus diambil oleh pemerintah pusat.
"Kewenangan di tingkat pemerintah daerah makin dibatasi. Semua kebijakan di negara ini di setor oleh keputusan politik dari para pemimpin politik pusat," ujarnya.
Pendiri sekaligus mantan Rektor Universitas Gunung Rinjani itu menilai Indonesia membutuhkan pemimpin bangsa, bukan sekadar pemimpin partai yang mampu menghargai dan mempersatukan seluruh elemen masyarakat, termasuk nilai-nilai kearifan lokal. Dengan semakin kuatnya kesadaran akan pentingnya kebudayaan lokal, banyak pihak berharap Indonesia segera melahirkan pemimpin yang benar-benar mencerminkan jiwa bangsa, bukan hanya kepentingan politik sesaat.
"Sampai saat ini, kita belum punya pemimpin seperti itu. Yang ada hanyalah pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan partai, bukan kepentingan bangsa," pungkasnya.(INTB)