![]() |
Wakil Bupati Lotim, Edwin Hadiwijaya |
LOMBOK TIMUR, IndepthNTB – Sebanyak 1.500 tenaga honorer di Lombok Timur (Lotim) terancam tidak terserap dalam skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Penyebabnya, status mereka tidak tercatat dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), sehingga tidak dapat diusulkan ke pemerintah pusat.
Padahal, berdasarkan data Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lotim, para tenaga honorer ini telah terdaftar di daerah. Wakil Bupati Lotim, Edwin Hadiwijaya, menjelaskan bahwa masalah ini muncul akibat ketidaksesuaian aturan pusat dengan kondisi di lapangan. Dua faktor penyebab utamanya adalah masa pengabdian yang belum genap dua tahun dan ketidakhadiran dalam seleksi PPPK tahap kedua.
"Data mereka ada di daerah, tapi aturan pusat tidak memberi ruang. Akibatnya, mereka tidak termasuk dalam 11.029 PPPK paruh waktu yang saat ini sedang mengisi Daftar Riwayat Hidup (DRH)," jelas Edwin, Kamis (18/9).
Edwin menegaskan bahwa pemkab telah berupaya mengambil langkah antisipatif agar para honorer tidak terpinggirkan. Namun, kewenangan untuk memberikan kejelasan status sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat.
"Kami berharap ada kebijakan segera dari pusat supaya saudara-saudara kita ini mendapat kejelasan. Data mereka aman, tinggal menunggu regulasi baru," tegasnya.
Sementara itu, Kepala BKPSDM Lotim, Yulian Ugi Listianto, merinci data 11.029 orang yang diusulkan menjadi PPPK paruh waktu. Menurutnya, usulan tersebut terdiri dari peserta yang terdaftar di database BKN dan yang tidak terdaftar tetapi pernah mengikuti seleksi PPPK dan CPNS.
"Rinciannya, peserta yang terdaftar di database BKN sebanyak 8.758 formasi, yang terdiri dari tenaga Guru: 2.621 orang, tenaga Kesehatan: 2.060 orang, tenaga teknis: 4.077 orang," jelas Ugi.
"Selanjutnya, peserta yang tidak terdaftar di database BKN sebanyak 2.271 orang, yang terdiri dari tenaga guru: 1.162 orang, tenaga kesehatan: 229 orang, dan tenaga teknis: 880 orang," tutupnya.
Nasib 1.500 honorer yang tidak masuk dalam usulan tersebut kini menggantung, menunggu kebijakan dan kepastian dari pemerintah pusat agar tidak menjadi korban dari celah regulasi. (INTB)